Remaja Perlu Tahu Kesehatan reproduksi - RASA ingin tahu remaja tentang kesehatan organ reproduksinya sangat tinggi. Namun, anggapan bahwa hal tersebut tabu membuat mereka enggan dan malu untuk bertanya kepada orang lain. Hal ini yang berusaha diatasi lewat jalur pemanfaatan teknologi.
Masa remaja merupakan fase seseorang mulai membentuk karakter untuk tumbuh menjadi lebih dewasa, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada masa ini, sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak, tidak juga golongan dewasa atau tua. Selain itu, pada fase ini remaja sedang masuk dalam fase pencarian jati diri.
Mereka akan mencari informasi baru yang belum mereka ketahui sebelumnya, termasuk informasi terkait kesehatan reproduksi. Baik pria maupun wanita akan mengalami perubahan bentuk, baik itu fisik maupun kerja organ reproduksi dalam tubuhnya. Sayangnya, bagi sebagian remaja tak jarang yang justru sulit mendapatkan informasi tersebut, baik dari orang tua maupun guru di sekolah yang mengang gap hal reproduksi adalah hal yang tabu.
Padahal, informasi tersebut hal yang patut mereka ketahui karena menyangkut dirinya sendiri. Tertutupnya atau kesalahan informasi yang mereka dapat justru bisa mengganggu perkembangan psikologis mereka. Salah satu sumber informasi yang dibutuhkan remaja adalah melalui akses internet. Perkembangan teknologi membuat mereka dapat mengaksesnya dengan mudah.
Selain informasi, internet juga menjadi ranah yang menawarkan berbagai kesempatan bagi remaja untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Berdasarkan keterangan yang disampaikan Rutgers WPF Indonesia dalam diskusi interaktif “Remaja, Seksualitas, dan Teknologi” pada Selasa (4/8), dalam 10 tahun terakhir, internet di Indonesia telah berkembang dengan pesat.
Sampai akhir 2014, pengguna aktif internet telah mencapai 88,1 juta jiwa yang hampir dari setengah penggunanya adalah kaum remaja, sekitar 49% yang berada dalam rentang usia 18-25 tahun. Rutgers WPF Indonesia bersama beberapa mitranya pada 2014 melakukan penelitian mengenai akses remaja terhadap informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi di Jakarta, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Hasilnya, meskipun penetrasi internet di Indonesia sangat tinggi, akses ini masih belum merata. Selain itu, meskipun informasi yang beredar sangat tinggi, mereka masih sulit menemukan informasi yang kredibel dan ramah remaja, seperti informasi mengenai bahaya narkoba, infeksi menular seksual, kekerasan, intimidasi (bullying ), dan kesehatan reproduksi.
“Remaja Indonesia memiliki akses yang luas terhadap internet. Namun, hal ini belum diimbangi dengan penyediaan informasi yang akurat, tepercaya, tidak menghakimi, dan ramah remaja,” tutur Monique Soesman, Direktur Rutgers WPF Indonesia.
Menurut Ignatius Haryanto, seorang pengamat media sekaligus peneliti media di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dalam mengakses informasi banyak remaja yang berkiblat dalam akses media sosial. Meski begitu, mereka masih belum mendapat akses informasi secara jelas.
Selain itu, masih banyak remaja yang belum bisa akses informasi tersebut secara optimal. “Masih banyak masyarakat yang menganggap informasi kesehatan reproduksi merupakan hal yang tabu sehingga membuat mereka semakin sungkan untuk bertanya, termasuk bertanya kepada orang tuanya. Tak jarang mereka yang mengalami perubahan kondisi fisik tanpa mendapatkan informasi apa-apa, akhirnya minder karena merasa berbeda dengan teman-teman lainnya,” ungkap Ignatius Haryanto yang akrab disapa Hary.
Misalnya saja mimpi basah. Bagi lelaki itu normal, mengalami mimpi basah merupakan hal yang wajar. Namun, bagi remaja yang baru mengalaminya pertama kali akan merasa hal tersebut merupakan hal yang memalukan. Bagi teman sebayanya yang ternyata belum mengalami mimpi basah, gejala seperti itu nantinya akan disikapi dengan tidak wajar.
“Saat ada salah satunya yang mengalami hal tersebut, teman lainnya akan memberikan respon cercaan atau makian atau pemberian label yang bersifat negatif. Kalau begini, remaja sendiri yang mendapatkan dampak negatifnya,” tambah Ignatius.
Bagi Nia Dinata, seorang sutradara yang notabene ibu bekerja, penting untuk memberikan informasi terkait kesehatan reproduksi bagi anak sedini mungkin. Anak diperkenankan mencari informasi dari sumber mana saja asal tetap berkoordinasi dengan orang tua. Oleh karena itu, orang tua juga perlu terbuka dengan hal-hal seperti ini.
“Selain menambah informasi bagi anak-anak, informasi secara dini membuat mereka tahu organ mana saja yang sifatnya sangat pribadi yang tidak boleh terekspos sembarangan. Dengan begitu, anak-anak akan terhindar dari kejahatan seksual,” ujar ibu dari dua anak ini.
Untuk menunjang informasi kesehatan reproduksi bagi remaja, Rutgers WPF Indonesia sedang mengembangkan kursus online atau e-course bertajuk Sobat Ask yang dapat diakses melalui sobatask.net atau melalui aplikasi Android yang dinilai lebih ramah remaja.
E-course Sobat Ask ini dibuat menyerupai modul pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja yang menggunakan metode pelajaran yang biasa dilakukan di sekolah.
“Dengan mengikuti e-course ini, kami berharap remaja lebih berdaya dan mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan reproduksi dan kekerasan,” tandas Monique Soesman.